http://www.floresbangkit.com/2013/06/prahara-kebun-jambu-mete/
WITIHAMA FBC-Sejak dahulu masyarakat Witihama telah
mengenal pertanian dengan sistem tumpangsari. Sistem ini bertahan
sedemikian lama dan sanggup menghidupi masyarakat setempat dari
generasi ke generasi.
Namun secara ekonomi, sistem tanam tumpangsari tampaknya sungguh tak
menjanjikan. Di samping harga hasil pertanian yang sungguh tak
menjanjikan, hasil panen pun hanya habis untuk konsumsi sehari-hari
guna bertahan dalam semusim seraya menyambut musim berikutnya.Kalaupun
ada sedikit kelebihan, itu akan habis untuk sekadar barter ikan asin.
Masyarakat Witihama dan sekitarnya sebenarnya telah menjalani
kehidupan seperti itu sejak lama. Ada diantaranya yang tak sanggup
bertahan dan akhirnya Negeri Jiran Malaysia menjadi tujuan alternatif
yang tak terbantahkan.
Kehidupan yang agak berubah ke arah yang lebih baik secara material
dari sementara orang, memancing yang lainnya untuk menjalani kehidupan
yang lebih baik pula.
Ongkos pendidikan yang tinggi dan tak terjangkau jika hanya
mengandalkan hasil tani untuk mengenyam bangku sekolah apalagi kuliah,
membuat beberapa pemuda lebih memilih putus sekolah dan ‘upacara’
selanjutnya dapat diterka, ke Malaysia atau kemana pun juga yang dapat
menjanjikan kehidupan yang lebih baik secara material.
Naluri sebagai manusia yang ingin hidup lebih enak, mulai menjangkiti
semua orang, yang pada akhirnya menjangkiti pula sistem pertanian yang
sudah bertahan dari zaman ke zaman bahkan merupakan salah satu warisan
bersejarah di tanah ini.
Manusia memang harus suka dengan perubahan namun tentu saja yang
dikehendaki adalah perubahan ke arah yang lebih baik, bukan asal
berubah. Fakta yang ada menunjukkan, keinginan hidup enak dengan
mendapatkan uang secara instan, telah mematikan rasa akan warisan
leluhur yang telah menghidupi begitu banyak generasi.
Warga tampaknya tak lagi doyan atau lebih tepatnya tak mau susahkan
diri dengan ‘wata pun’a’ maupun ‘wata kenae’ (Makanan berbahan dasar
jagung lokal) atau ‘uwe senerane’ (makanan berbahan dasar ubi
kayu/singkong), tapi sibuk menunggu kapan raskin alias beras miskin
akan tiba.
Janganlah heran jika kebanyakan pemudi di kampung halaman sudah tak
tahu bagaimana caranya ‘Gae Wata’ Hal ini tentu wajar saja, manakala tak
sedikit anak muda putus sekolah zaman sekarang yang sudah tak hafal
lagi jalan ke kebunnya sendiri.
Jadi agak aneh juga kalau tak mengharapkan sekadar raskin. Dan, agar
lebih cepat dapat duit, mau tak mau, sistem pertanian tumpangsari
warisan itu disulap menjadi kebun mete. Karena bagaimana pun juga, untuk
sementara ini, jambu mete cukup menjanjikan untuk mendatangkan sesen
dua.
Hal ini dapat dengan mudah disaksikan di sejumlah areal kebun yang
membentang dari lereng Ile Boleng, di tengah sejumlah kampung hingga
tepi laut.
Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini? Fakta menunjukkan bahwa di
kebun mana saja tempat jambu mete ditanam, tak ada yang lain yang bisa
tumbuh selain jambu mete. Jangankan tanaman yang dapat dikonsumsi,
bahkan rumput pun tampak meranggas.
Tak sedikit petani yang mengeluhkan hal ini. ”Sekarang tidak bisa
tanam jagung lagi. Kalau mau tanam jagung, tempat ini harus dibiarkan
jadi hutan (nure) selama tiga atau empat tahun,” ucap Sabon salah
seorang warga yang mengerjakan kebunnya di kawasan Kebun Arak sekitar
Lereng Gunung Boleng.
Apa yang dikeluhkan Sabon cukup merata bagi sejumlah petani.
Merekapada akhirnya menyadari bahwa jambu mete hanya menjanjikan
kesenangan sesaat dengan harga pasaran yang cukup tinggi.
Namun setelah itu, rakusnya tanaman ini terhadap humus tanah, membuat
kebun menjadi sedemikian kurus, tak dapat ditanami tanaman lain dan
yang tersisa hanyalah kerikil yang bertebaran di seantero kebun. ”Butuh
beberapa tahun untuk kembalikan kesuburan tanah ini,” ungkap petani
lainnya.
Belum lagi musim yang lebih banyak kurang bersahabat dan harga pun
tak selamanya bagus. Justru akhir-akhir ini harga pun makin banyak
dikeluhkan. Begitu banyak kerugian yang diderita akibat perubahan sistem
tanam ini. Karena hutan yang berselang seling membuat hama tikus kian
meriah berpesta pora atas hasil tani berupa jagung yang terjebak di
tengah nure.
Mengapa? Karena ada sementara petani yang enggan menanam jambu mete
sementara yang lainnya tetap berkeras menanam tanaman yang kini berubah
jadi petaka itu.
Kebijakan raskin tentulah bagus mengingat tak sedikit kesulitan yang
dihadapi petani dalam mempertahankan hidupnya. Namun jika jiwa mandiri
petani tergerus oleh mental enak dan ingin mendapatkan uang dengan cara
instan, tak ubahnya suatu tindakan bunuh diri pelan-pelan, karena
ketika disadari, uang yang diperoleh dari hasil timbang jambu mete itu
tak sanggup memberikan hidup kepada petani dan keluarganya
dalam semusim.
Kita belum berbicara lebih jauh, soal beratnya tanggung jawab soal
kewajiban adat yang harus dijalani, terima atau tidak terima. (bkg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar